Minggu, 07 September 2008

ANAK DALAM SITUASI KONFLIK BERSENJATA

Anak adalah merupakan kelompok rentan untuk dapat mengalami tindakan diskriminasi dan kekerasan baik dalam situasi damai maupun situasi konflik karena berbagai alasan antara lain :

  • ketergantungan dalam berbagai hal semisal fisik, psikis, ekonomi yang diakibatkan karena belum matangnya mereka secara fisik maupun mental.
  • Anak kerapkali dilihat tidak sebagai subyek tetapi sebaliknya yaitu sebagai objek dengan standard pemikiran orang dewasa apapun peran mereka dalam masyarakat
  • Anak tidak dilihat sebagai pusat pertimbangan dalam melaksanakan sesuatu hal baik dalam skala kecil maupun luas.

Untuk itu di manapun anak berada karena beberapa alasan di atas pada dasarnya membutuhkan Perlindungan dalam artian semua tindakan maupun kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh ,berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dengan di ratifikasinya Konvensi Hak Anak melalui KepPres pada tahun 1990 maka Indonesia terikat secara yuridis dan politis terhadap seluruh ketentuan yang ada di dalam Konvensi Hak Anak tersebut.

Semua anak tanpa diskriminasi dalam artian tidak melihat latar belakang status sosial, etnis, suku, agama mempunyai hak untuk dilindungi yang dapat dikatakan bahwa anak harus memperoleh hak nya untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan lainnya atau bila kita melihat KHA adalah seluruh muatan yang ada di dalamnya.

Dalam situasi amanpun anak membutuhkan perlindungan dalam artian yang luas demikian juga halnya atau dapat dikatakan terlebih anak yang berada dalam situasi konflik apalagi bila dihubungkan dengan situasi konflik bersenjata dimana dalam hal ini mereka masuk dalam katagori anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus. Dikatakan perlindungan Khusus karena situasi konflik bersenjata mengakibatkan Anak dalam posisi yang sangat rentan untuk mengalami tindak kekerasan phisik yang dapat mengakibatkan luka, cidera, cacat bahkan kematian. Selain itu juga anak dapat mengalami kekerasan psikis dalam bentuk trauma baik dalam masa konflik maupun masa pasca, stigma dari keluarga dan masyarakat. Kerap kali juga untuk mengatasi hal tersebut anak terlibat mengkonsumsi obat-obat terlarang dan juga minuman keras.

Dalam masa pasca konflik di Indonesia seperti Aceh, Maluku, Ternate, Poso juga mengalami hal yang sama. Bahkan pernah dalam satu workshop yang diselenggarakan olehKomisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) yang menghadirkan anak yang terlibat dalam wilayah konflik horizontal di Ambon dan Ternate dimana anak juga diajarkan bagaimana merakit bom, mempergunakan senjata dengan ringannya bercerita pengalamannya pernah meminum darah dari pihak lawannya. Dapatkah kita bayangkan anak yang masih punya masa depan yang panjang ke depan masih membekas dengan pengalaman-pengalaman masa lalunya yang dapat berakibat bahwa kekerasan adalah solusi satu-satunya untuk mengatasi kesulitan dalam hidup. Dari para pendamping juga diperoleh keterangan bahwa banyak mereka yang dahulu masih dalam usia katagori anak ketika terlibat dalam masa konflik dan saat ini sudah tidak masuk dalam katagori tersebut digunakan sebagai “debt collector” di kota-kota besar baik di dalam maupun di luar wilayahnya yang tidak enggan untuk melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan pekerjaannya. Banyak anak juga sudah memperoleh dampingan dari kelompok-kelompok masyarakat terutama untuk melepaskan diri dari trauma tetapi penanganan yang terbatas tentunya tidak akan memperoleh hasil yang optimal. Dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak yang ada dalam masyarakat mulai dari elemen yang paling kecil bahkan sampai Negara yang punya tanggung jawab yang paling besar untuk melakukan perlindungan bagi seluruh warganya dan dalam hal ini terutama anak. Anak terlibat dalam situasi konflik bersenjata kehilangan hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, pengasuhan yang baik, lingkungan yang mendukung tumbuh kembang si anak

Pada masa konflik maupun Pasca Konflik anak membutuhkan masa pemulihan terlebih secara psikologis, reintegrasi.

Perlu juga menjadi catatan bahwa anak perempuan yang terlibat dalam situasi konflik bersenjata sangat rentan untuk kekerasan seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki dan permasalahan kesehatan reproduksi dan penyakit-penyakit menular lainnya.

Menurut catatan lebih dari 25 negara di seluruh dunia terdapat ribuan anak terlibat dalam konflik bersenjata baik dalam angkatan bersenjata pemerintah maupun kelompok oposisi bersenjata. Seringkali terjadi karena anak tidak mempunyai pilihan menjadi terlibat di wilayah konflik bersenjata karena semata-mata untuk mempertahankan hidup. Baik anak laki-laki maupun perempuan menjadi terlibat karena adanya unsur pemaksaan baik dalam bentuk penculikan maupun bentuk-bentuk lain yang tidak manusiawi termasuk bujuk rayu yang manipulatif.

Menurut Cape Town Principle tahun 1999 Tentara anak adalah siapa saja yang berusia dibawah delapan belas tahun (18) yang tidak hanya terbatas menjadi bagian dari angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata regular maupun non-regular dalam berbagai kapasitas seperti tukang masak, pembawa barang, pengantar pesan dan siapa saja yang membantu kelompok-kelompok tersebut termasuk anak perempuan yang direkrut untuk keperluan seksual dan kawin paksa.

Cape Town Principle sejalan dengan realitas yang ada dimana Anak yang terlibat atau dilibatkan dalam konflik bersenjata digunakan sebagai mata-mata, pembawa pesan, pengawal, pembawa barang, pembantu dan bahkan sebagai budak seks. Anak-anak seringkali diperintahkan untuk meletakkan atau membersihkan jalan dari ranjau darat. Anak-anak yang lebih muda usianya di beberapa angkatan bersenjata diperlakukan sebagai siswa dan seringkali disekap dalam kamp pelatihan atau markas. Terlepas dari partisipasi mereka dalam latihan militer, mereka juga disuruh untuk membersihkan kamp, menjadi pesuruh dan memasak.

Anak-anak yang rentan menjadi tentara anak biasanya adalah mereka yang tinggal di daerah konflik dan berasal dari komunitas desa atau kota yang terpinggirkan dan keluarga miskin. Seperti halnya anak-anak yang sedang kehilangan pegangan dan tidak memperoleh perlindungan dari keluarga seperti anak yang terpisah dari keluarganya atau keluarga yang berantakan sangat ber-resiko untuk memperoleh penawaran-penawaran dari pihak lain demikian juga halnya bagi anak-anak di wilayah konflik mereka mudah untuk di rekrut. Jumlah terbesar dari tentara anak adalah anak laki-laki yang berusia masih remaja dan ada kecenderungan jumlah peekrutan anak perempuan meningkat di tahun-tahun belakangan ini. Selain di rekrut menjadi prajurit, anak perempuan juga mengalami pelecehan secara seksual dan dipaksa untuk menikah.

Beberapa alasan anak menjadi tentara secara sukarela :

  • Kelompok bersenjata tidak banyak menemukan kesulitan untuk merekrut anak-anak karena usia yang belum mencapai kematangan sehingga dengan mudah dapat dipegaruhi dan dimanipulasi. Anak-anak dapat dengan mudah untuk di-cuci-otak sehingga mempunyai keberanian yang melampaui batas dan dibentuk kepatuhannya.
  • Adanya keinginan untuk balas dendam dikarenakan mereka mengalami kehilangan keluarga. Selain itu tidak mempunyai tempat perlindungan dan memperoleh hal tersebut dan juga makanan dari kelompok bersenjata.
  • Hilangnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dalam situasi yang sangat miskin, sekolah-sekolah telah dihancurkan, dan terbatasnya jumlah guru-guru, anak-anak akan mencari alternative kehidupan yang lebih baik.
  • Anak-anak mempunyai pandangan bahwa menjadi tentara adalah sesuatu yang membanggakan. Ditambah lagi propaganda politik dfimana memunculkan kebenaran-kebenaran sepihak dimana pembelaan untuk hal tersebut adalah sesuatu yang heroic..
  • Tekanan dari teman sebaya dan keluarga yang menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap kelompoknya sehingga tanpa sadar masuk menjadi tentara anak dengan sukarela .

Masalah anak yang terlibat dalam konflik bersenjata penting untuk menjadi perhatian karena mereka beresiko menderita luka-luka secara fisik, trauma psikologis dan bahkan mengakibatkan kematian selama pelatihan yang keras dalam pertempuran. Mereka kerap diperlakukan secara brutal dan menerima hukuman yang berat untuk kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat dari ketidak patuhan. Di beberapa negara bahkan tentara-tentara anak yang tertangkap melarikan atau menyerahkan diri untuk menghadapi perlakuan yang buruk, penyiksaan dan bahkan meninggal.

Anak-anak ini juga hilang kesempatan dalam memperoleh pendidikan dan tumbuh kembang social yang normal. Banyak tentara anak mengalami mimpi buruk bahkan kendati mereka sudah meninggalkan kelompok besenjata tersebut. Mimpi –mimpi yang merupakan trauma yang mereka hadapi sebagai saksi atau korband ari kekerasan , ketakutan, stigma dari keluarga dan lingkungan. Seringkali obat-obat terlarang dan alcohol digunakan untuk menghilangkan sensitifitas anak terhadap kekerasan yang seringkali mengarahkan mereka ke persoalan yang berhubungan dengan penyiksaan.

Harus menjadi catatan bahwa Perekrutan anak-anak secara paksa maupun sukarela ke dalam angkatan bersenjata melanggar hak-hak fundamental anak yang dinyatakan dalam Konvensi Persatuan Bangsa-bangsa mengenai Hak-Hak Anak (KHA) dan Aturan Tambahannya (Optional Protocol) tentang pelibatan anak-anak dalam konflik bersenjata dan instrument-instrument standard internasional lainnya.

Hak-Hak Anak yang terlibat dalam konflik bersenjata untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk perlakuan keji, kekerasan atau pengabaian ketika mereka menghadapi ancaman dibunuh, ditangkap, disiksa atau diperkosa setiap hari telah dilanggar. Begitu juga dengan hak-hak mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan dan perawatan medis dan standard hidup yang memadai.

Hal yang perlu diingat juga bagi mereka yang mengalami atau terlibat dalam konflik bersenjata dimana pada saat itu mereka masih dalam usia anak tetapi dalam masa pasca konflik mereka tidak lagi dalam usia anak sedangkan peristiwa tersebut masih sangat berbekas dan berdampak dalam menjalankan kehidupan mereka.

Negara diharapkan meningkatkan perhatian bagi anak yang terlibat dalam konflik bersenjata baik ketika mereka masih dalam katagori usia anak (dibawah 18 tahun) maupun yang mempunyai pengalaman masa lalu dan saat ini tidak lagi masuk dalam usia anak.

Tentara anak merupakan isu utama dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (Optional Protocol to the Convention on the Right of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflicts-OPAC) yang diharapkan dapat di ratifikasi oleh Pemerintah sehingga perlindungan bagi anak yang terlibat dalam konflik bersenjata dapat memperoleh hak-haknya sebagaimana anak-anak yang lain. Semoga

Magdalena Sitorus

Komisioner

Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Ketua Rekan Anak dan Perempuan.

Tidak ada komentar: