Rabu, 14 Oktober 2009

KISAH PEMBANTU RUMAH TANGGA DARI PIHAK MAJIKAN PART I

Dibawah ini adalah percakapan-percakapan dengan pihak-pihak diatas yang benar-benar terjadi. Di dalam masyarakat perkotaan.


Aku mendapat seorang pembantu dari kampung yang disalurkan oleh tetangga di belakang rumahku. Karena badan sudah tidak tahan rasanya, berbulan-bulan tidak punya pembantu. Aku sendiri masih harus bekerja ke kantor. Dari satu sisi mengurangi pengeluaran karena upah pembantu tidak menjadi daftar pengeluaran, demikian juga untuk makanan sehari-harinya.


Tapi bagaimana yah, aku masih punya anak berusia dua tahun. Selama pembantu absent anak sering aku bawa ke kantor. Suami sulitlah untuk diharapkan seperti itu. Kadang-kadang aku titipkan ke kakakku yang kebetulan punya pembantu (dia sendiri juga bekerja) Orangtua ataupun mertuaku tidak tinggal sekota sehingga sesuatu yang tidak mungkin di titipkan ke mereka. Maka kuterimalah dia. Anak itu masih berusia belasan tahun. Kelihatannya sih lugu yah …


Bahasa Indonesianya juga belum lancer. Pendidikannya tidak tamat SD dan tidak bisa melanjutkan karena masalah ekonomi. Mulailah aku beradaptasi lagi dengan kehadiran orang baru. Mulai lagi mengajari , mulai dari cuci piring, menyapu. Eh… Allah… rupanya tidak pernahbekerja sebelumnya… ditambah mengajari menyalakan kompor gas… ( wah ngeri juga…kalau mematikannya nggak bener).


Bagaimana mengangkat dan menerima telepon dan meletakkan kembali ke tempatnya. Pokoknya semua dari nol . ketika aku Tanya .. ‘apa iya di kampung nggak pernah kerja di Rumah?” . “Kerja bu… lah aku nyucinya di kali…. Kampungku belum ada listrik bu…. Aku masak pake kayu bakaar…. Ibu bapakku kerja di ladang… “

Antara perlu dan capek ngajarinnya… maka aku harus menerima keadaan ini. Sesudah aku trained satu minggu sepertinya sudah bisa nih aku tinggal sepenuhnya di Rumah. Wah… pokoknya pesenku banyak banget. Untuk sementara aku belum ijinkan untuk menyalakan kompor. Wong ini anak masih kecil pikirku.


Maka sebelum berangkat kerja aku sudah masak dulu, termasuk buat pembantuku itu. Lah masak dia nggak makan seharian nungguin aku pulang. Termasuk makanan buat anakku si kecil itu. Terpaksalah makan siangnya makanan tidak hangat alias dingin. Pesan yang lain adalah anakku jangan ditinggal.


Kalau dia tidur, baru dia boleh mengerjakan Rumah. Kalau sempat mencuci yah kerjakan tetapi kalau tidak, jangan kerjakan. Karena yang paling penting menjaga anakku itu. Selain itu jangan pernah membuka pintu kalau ada yang mau bertamu. Pokoknya kalau bukan orang yang sudah di pesan sebelumnya, jangan pernah buka. Mulailah aku membeberkan cerita (sebenarnya bukan menakut-nakut-I, tapi ada juga barangkali unsure menakut-nakuti) tetapi dilatar belakangi banyaknya angka kejahatan


Wah kayaknya sesudah seminggu, anak ini (katakanlah namanya si Isah) lumayan baik . Tapi yah ampun makannya buanyak banget. Aku lihat gula pasirku cepat banget habis… rupanya setiap kali minum pake gula… wah… awas luh kena diabetes kataku satu hari…. Eh jawabnya: ‘ aku ndak bisa minum kalau nggak manis buk”

Tapi yah namanya masih pertumbuhan…. Selain itu yah amppun…. Mandi berkali-kali …. Kaget barangkali liat air. “ndok… mandinya cukup dua kali sehari. Coba lihat ibu.. kan pergi dan pulang kantor saja mandinya” kataku “wah , disini panas banget buk… aku ndak tahan kalau nggak mandi berkali-kali “ ujarnya dengan bahasa yang kental jawanya. Nek di kampung, aku bisa berendem di kali… Wah, gawat juga.. harus diajarin terus menerus.

Menjelang satu bulan …. Sudah bisa nyalakan dan mematikan kompor. Mulailah dengan memanaskan makanan saja. Berangsur-angsur mulai bisa menggoreng tapi lebih banyak gosongnya katimbang yang sebaliknya. Yah.. pokoknya harus disyukuri.


Nah persoalan lain yang selalu membuat aku jantungan adalah tetangga belakangku yang menyalurkan si Isah suka datang mejenguk. Yah.. boleh-boleh saja sih menjenguk Cuma yang sebentar di bilang orangtuanya kangen…. ,kakaknya mau kawin, neneknya meninggal dan berbagai alasan. Semua dapat di atasi dengan memberikan gaji si Isah sebagai kontribusi ke kampungnya dengan berbagai macam event di kampung.

Mungkin dicampur rasa takut kehilangan pembantu dan membayangkan betapa repotnya aku nanti, membuat posisi tawarku kow nggak imbang yah….


Kadang-kadang gajinya diserahkan pada tetanggaku itu yang katanya mau di kirim ke orangtua si Isah….

Akhirnya Isah bertahan juga satu tahun. Aku sudah mulai mempercayainya dan suka ditambah anakku jua nempel sama si Isah…. Lebaran pun tiba …Isah harus pulang kampung…. Dan yang menjemput yah… tetanggaku itu…

Mau bilang apa… karena itu kan menjadi haknya untuk pulang kampung sesudah satu tahun. Aku sudah wanti-wanti dan coba mengatakan… “kalau memang nggak pulang lagi… tolong terus terang… supaya saya nggak nunggu-nunggu kamu… karena ibu kan harus kerja lagi… “AKu balik koq buk… aku sudah betah disini… “ katanya.


Janji kembali sesudah dua minggu tinggal di kampung. Akupun minta cuti dari kantor. Sesudah dua minggu… aku Tanya ke tetangga yang memasukkan itu…. “belum ada kabar bu” jawabnya… sampai satu bulan… yah sudah berarti aku tidak boleh mengharapkan kedatangannya lagi.


Beberapa bulan kemudian aku tahu secara tidak sengaja bahwa si Isah sebenarnya kembali ke Jakarta tetapi pindah kerja dan yang memasukkan ke tempat kerjanya yang baru … yah itu… tetanggaku itu…. Yah… batinku:” capeknya aku ngajarin si Isah… begitu dia pinter… dia cari kerja di tempat lain… dan skill nya sudah jauh lebih baik katimbang ketika dia eprtama kali datang dari kampung dan bekerja di rumahku…

Anggaplah sebagai sumbangan dan rumahku sebagai tempat training bagi si Isah….

Tidak ada komentar: