Minggu, 07 September 2008

UPAYA SALING MENGHARGAI DAN SALING MENGHORMATI.

Suatu kali terjadi pernikahan antara dua suku yaitu mempelai perempuan berasal dari suku Batak sementara mempelai laki-laki berasal dari suku Jawa yang kedua-duanya beragama Kristen Protestan.
Meskipun Pemberkatan nikah dilaksanakan di Gereja Batak tetapi gereja sudah mempunyai toleransi dimana seluruh acara kebaktian menggunakan bahasa Indonesia agar dapat dimengerti oleh ke dua mempelai dan seluruh jemaat yang hadir. Hal-hal yang berkaitan dengan upaya saling menghargai dan saling menghormati sudah dibicarakan sejak awal yaitu salah satunya penggunaan bahasa Indonesia kendati sedikit-sedikit keluar juga pepatah-pepatah Batak yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia..
Pada saat acara pemberkatan usai maka masing-masing dari pihak keluarga mengucapkan satu dua patah kata di depan podium yang biasanya pengucapan terima kasih bagi semua yang sudah terlibat atau yang hadir dan mengundang jemaat untuk juga hadir di acara adat yang akan dilakukan di gedung pertemuan.
Seorang Bapak maju ke depan mewakili keluarga mempelai perempuan yang dari awal sampai akhir sambutannya menggunakan bahasa Batak demikian juga halnya yang mewakili mempelai laki-laki (karena sudah diberi marga) melakukan hal yang sama. Ketika salah satu anggota keluarga yang lain mengingatkan kesepakatan untuk menggunakan bahasa Indonesia , ke dua bapak tersebut mempunyai respons yang kurang lebih sama yaitu ‘ biarlah mereka juga belajar bahasa kita, kan ini gereja Batak”

Seperti biasa sesudah acara pemberkatan gereja adalah acara Adat yang dilakukan di salah satu gedung pertemuan di Jakarta.
Dengan demikian acara adat dihadiri oleh ke dua pihak keluarga besar yang berasal dari ke dua suku tersebut yaitu suku Jawa dan suku Batak. Pesta adat yang dilaksanakan secara adat Batak di mulai. Mulai dari pembawa acara dan ketika acara adat berlangsung semua entah sadar atau tidak sadar menggunakan bahasa Batak. Keluarga dari suku Jawa yang mendampingi mempelai laki-laki hanya mengikuti instruksi dari anggota keluarga mempelai perempuan untuk hal-hal apa yang harus dilakukan. Demikian berlangsung dari awal, pertengahan hingga akhir acara. Anggota keluarga yang memberikan masukan pada saat di gereja sekali lagi mencoba memberikan saran dan mengingatkan kesepakatan awal kepada pembawa acara dan yang berwenang dalam acara adat tersebut tetapi lagi-lagi jawaban yang diperoleh kurang lebih sama seperti yang terjadi di gereja. Layaknya mereka yang datang dari suku yang lain seperti kelompok pelengkap saja dan upaya menempatkan kedudukan yang sama menjadi sumir.

Betapa sering kita tidak menyadari bahwa ada orang lain bersama kita dan bagaimana kita lupa untuk menghormati dan menghargai orang lain yang ada di sekitar kita untuk menciptakan saling pengertian satu sama lain. Tanpa sadar seolah-olah dunia ini milik kita sendiri dan yang lain kita anggap menumpang dan kita mempunyai hak otoritas penuh menentukan segalanya menurut ukuran kita sendiri.

Kejadian diatas tentunya bukan terjadi disetiap pesta Batak dimana kedua mempelai berasal dari dua suku yang berbeda tetapi toh pernah terjadi ditengah-tengah kita.

Maret, 2007
Magdalena Sitorus

Catatan Natal Seorang Anak

Dua bulan menjelang hari Natal Ayah dan Ibuku sudah disibukkan untuk mempersiapkan acara-acara Natal baik untuk dikantornya maupun untuk digereja dan juga persiapan untuk di rumah sendiri. Seperti halnya pada tahun-tahun sebelumnya hal ini menjadi rutinitas bagiku yang saat ini sebagai anak belasan tahun yang sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikan di SMA sudah dilibatkan untuk hal tersebut mulai membuat daftar kebutuhan untuk di rumah sampai halnya untuk kebutuhanku sendiri. Tahun Baru yang tidak terlalu berjauhan jumlah harinya juga masuk dalam kesibukan tersebut. Tentunya hal ini berhubungan dengan aktivitas berbelanja dan membuat harus masuk keluar toko dari satu tempat ke tempat yang lain.
Untuk mewujudkan persiapan tersebut menjadi kenyataan tentunya mempunyai konsekuensi pengeluaran biaya yang tidak kecil meskipun aku tahu hal itu tidak menjadi masalah bagi kedua orangtuaku karena secara ekonomi mereka cukup mapan.

Ada pertanyaan yang mulai muncul dalam benakku tahun-tahun belakangan ini. Sejak aku mengenal Sekolah Minggu aku sudah diperkenalkan siapa Yesus yang menjadi tokoh sentral dalam perayaan Natal. Ia adalah penebus dosa manusia, Raja segala Raja tetapi justru lahir di kandang domba. Ia representasi dari kemiskinan, masyarakat kebanyakan yang termarjinalisasi. Orang Majus datang dari jauh untuk mempersembahkan mas dan mur dan lain-lainnya yang tidak ternilai harganya.
Aku membayangkan Yesus yang berkuasa itu tidak lahir dalam kemewahan.tetapi justru sebaliknya. Barangkali supaya Ia mudah di akses oleh orang banyak tanpa memandang status ekonomi dan sosialnya ya ? begitulah kata hatiku bertanya-tanya. Kalau dia Yang Maha Kuasa dan Penyelamat Dunia itu lahir tempat yang mewah, orang kebanyakan termasuk yang miskin dan papa barangkali enggan untuk menjenguk dan menyapanya karena ada tembok pemisah.yang tebal dan sulit untuk ditembus.

Aku amati dari tahun ke tahun hal-hal yang aku peroleh di Sekolah Minggu ku sangat bertolak belakang dengan apa yang aku lihat di sekelilingku atau paling tidak di keluargaku. Natal identik dengan konsumerisme yang diwujudkan dalam bentuk shopping apalagi saat ini begitu banyak penawaran-penawaran bernuansa Natal yang direkatkan dengan Tahun Baru. Ditambah lagi banyak Mall-Mall yang menjadi sarana kemewahan. Selain itu tawaran Hotel-hotel mewah untuk menikmati liburan Natal dan Tahun Baru..

Kendati aku terbiasa dengan rutinitas Natal di Rumah yang mulai dari membeli pohon Natal yang cukup mahal beserta dengan hiasannya, mempersiapkan sepatu dan baju baruku dan juga anggota keluargaku tetapi cerita di sekolah Minggu masih terus menggelitik dan membekas dalam hatiku. Pengalamanku datang ke Rumah salah satu guru sekolah mingguku yang sangat sederhana sangat berkesan. Salah satunya adalah pohon Natalnya bukan pohon cemara tetapi dari pohon yang diperoleh dari sekeliling rumahnya dan di hias dengan penuh kreativitas.

Untuk menunjukkan keberpihakkan kepada kaum miskin dan papa, kedua orangtuaku meminta bantuanku untuk membuat daftar tempat-tempat yang akan dikunjungi untuk diberikan hadiah yaitu seperti panti asuhan, panti jompo dan panti lainnya. Dalam hatiku sih bertanya tanya juga….banyak juga kan mereka yang membutuhkan tapi tidak terdaftar di salah satu Panti. Kemudian apakah yang diberikan sesuai dengan kebutuhan mereka? Aku pernah dengar dari pembantuku yang kebetulan salah satu anaknya tinggal di Panti bercerita bahwa karena banyaknya barang-barang yang disumbangkan sampai-sampai dibuat bazaar untuk menjual mulai dari bahan makanan yang sudah hampir kadaluarsa sampai benda-benda ataupun baju-baju yang berkelebihan. Barangkali sih dapat dicari yang jauh lebih bermanfaat dan berkesinambungan untuk membantu kaum miskin dan papa sehingga mereka menjadi berdaya dan tidak menjadi masalah sosial bagi masyarakat nantinya.

Kadangkala aku lontarkan juga pemikiranku pada kedua orangtuaku tetapi sering mereka melihat aku adalah manusia kecil yang belum banyak makan asam garam dan tidak punya hak untuk berpartisipasi untuk menyampaikan aspirasiku.

Aku sih berharap Natal tidak digiring kearah kemewahan tetapi lebih mewujudkan keberpihakan kepada kaum miskin dan papa yang diwujudkan dalam bentuk kesederhanaan. Selain itu aku juga berharap mudah-mudahan aku tidak terseret pada kemewahan dan bentuk Natal yang aku kritisi sendiri. Semoga.


Desember 2006

Magdalena Sitorus

Bagaimana Cara Berbicara Tentang Sex Terhadap Anak - Anak Kita

BAGAIMANA CARA BERBICARA TENTANG SEX TERHADAP ANAK-ANAK KITA

Maraknya tindak kekerasan terhadap anak dapat kita lihat baik di media cetak maupun elektronik maupun cyber.. Data menunjukkan bahwa angka anak yang mengalami tindak kekerasan semakin meningkat secara khusus anak-anak yang mengalami tindak kekerasan seksual.
Banyak orang tua yang takut berbicara tentang sex terhadap anak-anaknya. Di Indonesia secara umum biasanya karena menganggap berbicara tentang sex apalagi terhadap anak-anak adalah sesuatu hal yang tabu dan selain itu memang tidak tahu bagaimana cara berbicara tentang hal tersebut terhadap anak-anaknya. Terdapat juga kekhawatiran kalau berbicara tentang sex jangan-jangan anak-anak malah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan sex, misalnya hubungan seksual.. Banyak hasil penelitian mengungkapkan yang mengungkapkan bahwa anak Indonesia belajar tentang sex dari teman-temannya atau membaca, menonton tentang pornography..
Yang dibutuhkan oleh anak-anak kita adalah informasi yang akurat dan benar sehingga mereka tahu melakukan hal-hal yang berhubungan untuk melindungi dirinya dari tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan seksual.

Suka atau tidak suka orangtua harus belajar berbicara terhadap anak-anaknya tentang obat-obat terlarang, sex dan juga AIDS. Mungkin hal-hal di bawah ini dapat dipertimbangkan untuk menjadi pedoman daasar untuk membantu orangtua untuk memberikan pendidikan sexual..

ORANGTUA HARUS MENJADI PENDIDIK UTAMA BAGI ANAK-ANAKNYA.

Secara hakiki anak ingin berbicara tentang sex dengan orangtuanya dan mereka ingin mendengar nilai / value anda tentang hal tersebut.. Jangan menjadi takut bahwa anda dianggap sebagai orangtua yang kuno dan memalukan dihadapan anak-anak anda. Kita harus berani mengakui bahwa sebenarnya sebagai orangtua yang sering dianggap kuno itu sangat sulit berbicara tentang topik tersebut tetapi jelaskan bahwa anda mau melakukan itu karena kita mencintai anak-anak kita.

Jangan menunggu pertanyaan datang dari anak-anak kita. Anda juga bisa memulai untuk berbicara tentang hal tersebut. Misalnya berdiskusi tentang tayangan televisi, berita di koran atau majalah atau media lainnya.

Bila anak-anak mulai membuka percakapan tentang sex, harus dilihat sebagai sesuatu yang positif dan kita harus berusaha menjawabnya. Jangan pernah berkata: ” ssst, jangan bicara tentang sex karena kamu belum dewasa, atau pantang loh bicara tentang sex” Ini adalah awal dari diskusi dan keterbukaan sehingga kita dipercaya dan anak-anak merasa nyaman menyampaikan segala hal kepada kita sebagai orangtua. Kecuali bila kita belum tahu tentang jawabannya maka kita harus jujur mengatakan bahwa kita belum tahu dan berusaha mencari jawabannya.
Namun demikian harus diingat bahwa ketika kita berbicara tentang seksualitas , usia dan kematangan anak harus menjadi pertimbangan.

Misalnya berbicara dengan anak usia 0 – 2 tahun.
Kita bisa mulai memperkenalkan seluruh bahagian-bahagian tubuhnya termasuk kelaminnya. Tentunya dengan rangkulan dan pelukan dari kita sebagai orangtua.

Lain halnya dengan usia 3 – 4 tahun
Kadang-kadang anak-anak menanyakan dari mana datangnya bayi. Kita harus belajar menjawabnya Mereka sudah dapat diajarkan tentang kebersihan tubuhnya seperti mandi, menggosok gigi, makanan yang sehat dan tidur siang. Sudah bisa kita mulai mengajarkan bagaimana mereka melindungi tubuhnya dan privasi
Usia diatas 4 tahun sampai 8 tahun sudah mempunyai pengetauan yang lebih kompleks tentang hal kesehatan, penyakit dan seksualitas. Biasanya ingin tahulebih banyak tentang keluarga, kelahiran dan bahkan kematian. Mereka sudah banyak menyerappengetahuan tentang sex, AIDS, obat-obat terlarang dari media elektronik maupun cetak Dapat kita beritahu tentang kesehatan ketika anak kita luka misalnya. Kesempatan yang baik untuk dijelaskan bahwa kalau tidak segera dibersihkan maka akan masuk virus yang mengakibatkan infeksi. Mungkin mereka bertanya tentang AIDS. Sesuatu yang baik bila kita sampaikan bahwa AIDS tidak menular kendati dia bermain, makan atau berbicara dengan anak / temannya yang terkena HIV AIDS. Kita jelaskan bagaimana penularan HIV AIDS bisa terjadi
Dengan anak-anak pra teenager kita harus bicara tentang sex, obat terlarang dan bagaimana melakukan pencegahan. Usia ini adalah usia puber apalagi karena gizi yang baik dewasa ini anak-anak memperoleh haid lebih awal dari masa sebelumnya. Keinginan tahunya sangat besar tentang sex dan sangat perlu memperoleh informasi yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Mereka sudah dapat diinformasikan bahwa hubungan seksual dpat mengakibatkan kehamilan, penyakit dan bahan infeksi HIV.
Bagaimana dengan usia diatasnya. Informasi tentang seksual begitu merajalela dan tidak dapat dibendung. Dapat dijelaskan bahwa hubungan seksual itu baru dapat dilakukan bagi orang-orang yang sudah dapat bertanggung jawab dan tidak dapat dilakukan dengan sembarang orang dan tentunya yang sudah masuk ke lembaga pernikahan yang bertanggung jawab yang tidak hanya dihadapan manusia tetapi terutama di hadapan Tuhan. Untuk hal itu diperlukan kedewasaan.

Tinggal menambahkan bagaimana kita sebagai orangtua bisa menjelaskannya dengan bijaksana dan kasih sayang.


Juni, 2006
Magdalena Sitorus
.

Anak Bekas Narapidana

MASALAH TUNA SUSILA DAN PENANGGULANGAN

BEKAS NARAPIDANA

Berbicara tentang Bekas Narapidana adalah berbicara tentang sosok yang pernah mengalami menjadi narapidana.
Untuk itu pengertian Narapidana haruslah diungkapkan lebih dahulu. Seorang Narapidana sudah barang tentu seseorang yang sudah mengalami proses Penangkapan, Penahanan, Terpidana dan kemudian menjadi Narapidana karena telah melakukan pelanggaran hukum. Kesemuanya dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum Negara yang berwenang untuk hal tersebut seperti Polisi, Jaksa dan Pengadilan yang berkaitan dengan Hakim..

Definisi Penangkapan berarti perbuatan menawan seseorang karena dituduh melakukan suat pelanggaran atau dengan tindakan seorang penguasa (Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan semua Orang yang Berada dibawah Bentuk Penahanan Apapun atau Pemenjaraan, Res. PBB No. 43/173 tahun 1988).
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh enyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur oleh UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan Negara atau tempat tertentu (UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Orang yang ditahan berarti setiap orang yang dirampas kebebasan pribadinya kecuali sebagai akibat hukuman karena suatu pelanggaran ( Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang yang Berada di bawah Bentuk Penahanan Apapun atau Pemenjaraan, Res. PBB No. 43/173 tahun 1988)

Orang yang dipenjara berarti siapa pun yang dirampas kebebasan pribadinya sebagai akibat hukuman karena suatu pelanggaran (Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang yang Berada di bawah Bentuk Penahanan Apapun atau Pemenjaraan, Res. PBB No. 43/173 tahun 1988)

Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

Dengan demikian Narapidana yang sudah mengalami proses mulai dari penangkapan, penahanan, di penjara, terpidana dan menjadi narapidana karena melakukan pelanggaran hukum sudah barang tentu mempunyai pengalaman yang baik maupun yang tidak baik dari sesama penghuni lembaga pemasyarakatan maupun dari pihak Lembaga pemasyarakatan yang sudah barang tentu sangat membekas bagi narapidana tersebut.

Seperti sama-sama kita ketahui bahwa sistim pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan dalam hal ini narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan mashyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Sistim pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengaoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan pembimbingan, penghormaan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu merupakan sistim pembinaan pemayarakatan yang sangat ideal yang tentunya seringkali pelaksanaannyasering terjadi justru yang sebaliknya.

Dibawah ini adalah contoh kasus penodongan dan mengakibatkan luka dari seorang narapidana anak. Khusus bagi anak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlakuan terhadap mereka harus berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa. Anak sebagai narapidana disebut juga sebagai Anak yang berkonflik dengan Hukum. Anak sebagai pelaku harus dilihat juga sebagai korban karena dalam hal ini anak dilihat sebagai manusia yang belum matang baik secara fisik maupun mental sehingga mereka sangat mudah dipengaruhi atau dimanupilasi sehingga berhadapan dengan hukum Selain itu mereka dianggap masih jauh lebih mudah untuk dapat dirubah sesudah mengalami bimbigan dan masih memiliki masa depan yang panjang.

“ Saya Adi (bukan nama sebenarnya) Usia 17 tahun. Terakhir sebelum ditangkap saya sekolah STM. Ayah saya bekerja sebagai buruh bangunan. Saya diputus hukuman 10 bulan penjara. Kejadiannya ketika saya naik bis, tiba-tiba ada petugas angkatan bersenjata yang menodongkan pistolnya ke pelipis saya dan menarik turun lalu saya dibawa ke salah satu polsek dan ditayai tentang peristiwa penodongan tasi siang. Saya mengaku terus terang atas peristiwa tersebut tapi saya tetap saja memperoleh tindak kekerasa dari pihak polisi. Saya ditahan selama 17 hari dan saat dibverbal (istilah yang biasa dipakai anak-anak dan orang dewasa untuk menunjukkan kegiatan diinterogasi yang dilakukan polisi dalam rangka pembuatan BAP). Sebenarnya saya bisa saja bebas tapi saya diberikan syarat untuk memberikan sejumlah uang. Pengalaman di polsek tersebut adalah karena kantornya baru dibangun disana tidak ada tempat penmpungan tahanan. Selain saya ada juga tahanan lain yang seusia saya. Kami berdua kalau malam tidur di kolong meja dengan tangan diborgol. Sehari-hari kami hana ditaruh di ruangan petugas dengan tangan diborgol. Kemudian saya di pindah ke Polres dan ditahan di sana selama 52 hari baru kemudian saya masuk ke LAPAS.. ( dari Kegiatan Kelompok Relawan Pengabdian Masyarakat Jurusan Kriminologi FISIP UI, 1999)

Kasus diatas hanya merupakan salah satu contoh kasus yang ada dan sudah barang tentu sangat membekas bagi si anak dalam menghadapi kasusnya. Dapat kita lihat misalnya bahwa penahanan anak pada satu sel yang sama dengan orang dewasa pada hakekatnya akan merugikan perkembangan anak, telebih lagi apabila pada saat pemeriksaan kepolisian satatus anak masih sebagai tersangka. Banyak lagi kasus-kasus lain yang lebih buruk dan tentunya lagilagi berdampak bagi masa depan si anak.

Perlu mendapat catatan bahwa penanggulangan bekas narapidana tidak bisa dilepaskan dari masa mereka menjalani masa pidana mereka di penjara / LAPAS. Dengan demikian ada hal-hal yang harus diatasi terlebih dalam konteks anak yang menjadi narapidana antara lain : .

Setiap narapidana termasuk anak harus secepatnya memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang layak dan juga menggugat keabsahan perampasan kemerdekaannya di depan pengadilan
Di penjara harus mempunyai dokumentasi yang akurat dan tersimpan dengan baik mengenai data narapidana termasuk narapidana anak
Akomodasi dan fasilitas yang baik di Lapas baik fisik maupun sarana-sarana lainnya
Memperoleh hak untuk kesehatan dan sanitasi yang baik
Mempunyai hak untuk mengajukan permohonan dan keluhan kepada pengawas lapas
Diperkenankan dibawah pengawasan untuk berkomunikasi deengan keluarga dan teman-teman baik mereka yang bukan saja dengan korespondensi tetapi juga dengan menerima kunjungan
Sebelum selesainya hukuman perlu diambil tindakan-tindakan untuk menjamin bagi narapidana suatu pengembalian secara bertahap pada keidupan dalam masyarakat. Sasaran ini mungkin dapat dicapat dan tergantung pada kasus nya dengan suatu pengaturan pra-pembebasan yang diorganisir dalam lembaga yang sama atau pada lembaga lain yang tepat atau dengan pembebasan percobaan dibawah beberapa macam pengawasan yang tidak boleh dipercayakan kepada polisi tetapi harus digabung dengan bantuan sosial yang efektif.
Khusus bagi anak sekalipun di lapas mereka mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan maupun keterampilan sesuai dengan kebutuhan anak.

Khusus bagi petugas antara lain:

petugas harus berkualitas dan mencakup jumlah cukup spesialis seperti pendidik, instruktur keterampilan, penasihat, pekerja sosial, psikolog mapun psikiater yang mana mereka harus dipekerjakan secara tetap. Juga harus menggunakan semua sumber dan bentuk bantuan pemulihan, pendidikan, moral dan spiritual sesuai kebutuhan narapidana.
Rekrutment yang baik untuk setiap tingkat dan jenis petugas untuk dapat meningkatkan kemampuan dan kesanggupan profesional
Untuk itu harus dipikirkna pembayaran upah yang memadai
Petugas harus mendapatkan pelatihan termasuk standar-standar seta norma-norma hak asasi manusia termasuk hak anak untuk narapidana anak

Dengan demikian apa yang mereka peroleh di lapas dan persiapan untuk dikembalikan ke masyarakat akan meminimalkan masalah sosial baik dalam ruang lingkup yang mikro maupun makro.

Sesudah mereka kembali ke masyarakat dibutuhkan juga hal-hal :

adanya satu badan untuk memonitor keadaan bekas narapidana tersebut terlebih bagi bekas narapidana anak. Sejauh mana mereka dapat beradaptasi di masyarakat. Tidak semua bekas narapidana dengan mudahnya dapat dikembalikan ke masyarakat. Perlu menjadi catatan seringkali mereka mendapat labeling ”bekas narapidana” yang mempersulit mereka untuk kembali ke masyarakat
Secara khusus bagi anak yang belum tentu jalan keluar terbaik adalah kembali ke keluarga, harus diupayakan penempatan mereka demi kepentingan terbaik bagi mereka sesuai dengan salah satu dasar prinsip konvensi hak anak.
Bekas narapidana harus dapat mengambil manfaat dari peraturan-peraturan yang dirancang untuk membantu mereka kembali ke masyarakat, kehidupan keluarga, pendidikan atau pekerjaan setelah pembebasan. Prosedur-prosedur termasuk pembebasan dini dan kursus-kursus khusus untuk tujuan tersebut.

Untuk itu Lapas tidak dapat berdiri sendiri. Harus ada koordinasi dengan sektor lain ketika mereka bebas dari Lapas sehingga mereka masih dapat terdeteksi dan dilakukan sesuatu ketika menghadapi kendala atau masalah ketika kembali ke dalam masyarakat.


Magdalena Sitorus
Komisioner KPAI
Ketua Rekan Anak dan Perempuan

Anak di penjara

Ketika saya melihat seorang anak laki-laki berusia 9 tahun di penjara …. Tangerang yang sudah divonis dan berada di tangerang sejak bulan agustus dengan kasus pelecehan seksual keinginan tahu tentang anak tersebut muncul.

Ia bersama dengan tetangganya yang berusia beberapa tahun lebih tua melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan berusia 4 tahun.

Menurut petugas tahanan ia tidak ditempatkan bersama tahanan lainnya karena alasan usia tersebut. Ia bebas bermain di halaman penjara tersebut.
Dari percakapan saya peroleh informasi bahwa ia berasal dari serang, berasal dari keluarga tidak mampu . Orangtuanya dating satu kali satu bulan.

Untuk usia 9 tahun :

kemungkinan besar pengaruh lingkungan
meniru dari sesuatu yang dilihat
ajakan teman
tidak memperoleh pendidikan dan pengawasan dari orangtua dll

Muncul pertanyaan:

apakah anak seusia tersebut layak ditempatkan di penjara
meskipun dibebaskan di areal penjara apakah juga tidak dimungkinkan pengaruh yang tidak baik dari lingkungan tsb
sejauh mana pengawasan dari para pengawas penjara terhadap anak tersebut
sejauh mana mengukur bahwa anak tersebut sudah dapat dikembalikan ke orangtuanya
siapa yang dapat melihat apakah menjadi keputusan yang terbaik untuk dikembalikan ke rumah atau keluarganya..

Yang harus dilihat :

peraturan di penjara tsb
mou antara lapas dan depsos


Kebutuhan fisik dan psikologis adalah dua kebutuhan yang saling kait mengkait dan tidak terpisahkan satu sama lain. Ketika proporsinya tidak seimbang maka akan menimbulkan dampak bagi seseorang terlebih bila kita berbicara persoalan anak .

Maraknya tindak kekerasan akhir-akhir ini dapat kita saksikan di mass media terlebih di media elektronik dalam hal ini televisi dimana setiap channel mempunyai berita tentang tindak kriminal.
Hampir setiap hari terdapat berita tindak kekerasan yang terjadi pada anak. Mulai dari kekerasan yang terjadi di dalam ranah rumah tangga sampai di ranah publik. Dapat dikatakan para pelaku adalah orang-orang yang dekat dengan mereka. Pelaku yang mulai dari ayah kandung,ibu kandung, ayah tiri, ibu tiri, bibi, paman pembantu rumah tangga, tetangga, guru dan lain sebagainya. Perbuatan kekerasan dimulai dari menggunakan anggota tubuh si pelaku juga dengan menggunakan alat-alat yang lain seperti kayu, setrika, air panas, pisau dan lain sebagainya termasuk cacian-cacian, seksual, juga dalam bentuk tidak dapat memberikan pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan yang mengakibatkan si korban luka, cidera, cacat, beban psikologis (dengan perubahan perilaku) dan bahkan kematian atau kematian yang dilakukan oleh diri sendiri atau bunuh diri.

Dari hasil pengamatan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) kekerasan yang terjadi sangat lintas stratifikasi sosial, ekonomi maupun pendidikan.
Belum dapat diketahui dengan jelas apakah angka kekerasan yang terjadi pada anak semakin meningkat atau persoalan kekerasan sedang diangkat dan kemampuan media untuk mengangkatnya atau sebenarnya sejak dulu angka tersebut sudah tinggi.

Menurut UU Perlindungan Anak no. 23 tahun 2002 yang sejalan dengan Konvensi Hak Anak yang sudah diratifikasi oleh pemerintah dalam bentuk ....... adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun. Yang membedakan adalah dalam KHA usia tersebut tidak termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Hak Anak sendiri dibagi atau dikelompokkan ke dalam 5 bagian yaitu ......
Dikatakan juga bahwa yang bertanggung jawab akan hal tersebut dimulai dari orangtua atau dalam hal ini keluarga dan bahkan Negara ikut di dalamnya.
Dengan demikian tanggung jawab tersebut berkaitan satu sama lain. Orangtua mulai dari ........, masyarakat diharapkan......... dan negara berperan .....................................

Beberapa kasus yang dapat kita lihat misalnya anak yang mengalami penganiayaan oleh ibu tiri, belum lagi diperkosa oleh paman yang mengakibatkan kematian (Harian ..... tgl. ........) anak yang bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah dan merasa malu ( harian..... tgl .......), anak yang menjadi kurir narkoba ( harian ....... tgl.......) dan kasus-kasus lainnya.

Anak begitu rentan.... karena mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi pada orang dewasa terlebih bila peran orang dewasa itu adalah orangtua, pendidik dan yang mempunyai relasi yang dekat dengan si anak. Ketidak matangan secara fisik dan emosional juga andil krentanan bagi anak.
Peran keluarga,masyarakat dan negara jangan memperlemah kerentanan tersebut atau menyalahgunakannya.
Beri contoh kasus

Menjadi orangtua bagi anak dewasa ini tidak mudah.
Bagi mereka ekonomi lemah......, sibuk (KURANG WAKTU) tetapi demikian juga bagi ekonomi yang kuat terlebih bagi mereka yang karirnya sedang menanjak (bagi pasangan yang bekerja ).
Kurangnya pengetahuan untuk mendidik dan belum lagi pengetahuan tentang bahwa kendati anak mempunyai ketergantungan yang tinggi tetapi sebagai anak mereka mempunyai hak-haknya yang secara wajib harus diberikan kepada mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada orangtua mempunyai tujuan yang tidak baik dalam mendidik anaknya. Pengalaman masa lalu juga memegang andil. Kekerasan yang diterima pada masa lalu akan besar kemungkinan berulang karena pengatahuan itulah yang mereka punya dan dapat berkembang menjadi budaya dalam masyarakat.

Dapat dibayangkan generasi seperti apa dimasa mendatang. Anak-anak menjadi produk dari budaya kekerasan mulai dari rumah, sekolah, media , cyber dll.
Negara yang dimana warga dewasanya adalah yang dekat dengan tindak kekerasan. Kalau kelak ( bisa ekstrim....mereka cikal bakal pelaku kekerasan atau dengan penuh kesadaran tidak ingin oranglain mempunyai pengalaman yang sama dengan dia – dan persentasinya kecil )

Perebutan Anak

Pendahuluan


Satu hari seorang ayah yang sudah dua tahun bercerai dengan istrinya mengeluh soal anaknya Reza (bukan nama sebenarnya) yang tidak mau kembali ke Rumah ibunya. Saat itu adalah hari Sabtu (Sabtu dan Minggu di Rumah ayah, hari sekolah Senin s.d Jum’at bersama ibunya) yang menjadi giliran anak tinggal bersama ayahnya. Reza mengeluhkan : “mamaku tidak mau mendengarkan aku. Semua pendapatku tidak ada yang diterima. Aku ini kan asma, tapi mama tidak mengerti perasaanku. Lagipula aku terlalu jauh berangkat sekolah dari tempat mama. Aku kecapekan” . Hasil keputusan pengadilan menetapkan pengasuhan ada di tangan ibu (usia anak belum lima tahun ketika perceraian terjadi).

Ada lagi kasus pasangan yang bercerai sesudah ada keputusan di pengadilan dimana diputuskan hak asuh pada ibu tetapi bapa mengajukan naik banding ke MA. Sambil menunggu keputusan MA anak ( Dodi – bukan nama sebenarnya) tinggal bersama ibunya dengan kesepakatan terdapat pembagian hari Dodi pada akhir pekan dapat tinggal bersama ayahnya. Awalnya sesuatu dapat berjalan dengan baik. Kemudian terjadi perkembangan masing-masing tidak menepati janjinya dengan alas an anak yang tidak berkenan untuk ke tempat masing-masing orangtuanya. “Aku lebih senang sama Mama, aku tidak suka sama Papa. Papa selalu memaksakan keinginannya pada Dodi. Dalam perkembangannya kemudian situasi berubah karena anak di tahan oleh ayahnya. Mulai lah kancah perjuangan tarik menarik. Ketika Dodi ditanya jawaban sudah berubah yaitu “Aku tidak mau lagi ke tempat mama, aku lebih senang tinggal bersama Papa”.

Satu contoh kasus lainnya dari pasangan yang sudah bercerai yang menurut keputusan pengadilan anak di bawah pengasuhan ibu. Menurut si bapak, anaknya (Murni – bukan nama sebenarnya), anak yang ceria, sayang dan dekat dengan ayahnya. Pada awalnya tidak ada kesulitan untuk dapat bertemu dengan Murni tetapi pada perkembangannya, jangankan untuk bertemu, berbicara lewat teleponpun tidak lagi dapat dilakukan. Menurut si bapa pada saat bisa bertemu, Murni bukan lagi yang ia kenal seperti sebelumnya. Murni ia lihat menjadi anak yang pemurung, tidak banyak bicara dan sulit untuk berkomunikasi.

Contoh tiga kasus diatas berkembang menjadi upaya perebutan anak dari masing-masing bekas pasangan yang merasa anak jauh lebih baik berada di pihaknya.

Banyak lagi yang terjadi dimana perceraian berkembang menjadi kasus-kasus perebutan anak

Seperti akhir-akhir ini banyak sekali berita baik di media cetak maupun elektronik tentang perebutan anak apakah itu dalam masa pra perceraian maupun pasca perceraian. Meskipun di media elektronik yang terangkat banyak pada keluarga selebritis meskipun hal yang serupa banyak juga terjadi pada keluarga-keluarga biasa yang ada di dalam masyarakat.

Seringkali masing-masing pasangan melihat dirinya adalah yang paling pantas untuk melakukan pengasuhan bagi anak yang diperebutkan. Sering orang mengatakan bahwa tidak ada bekas / mantan ibu, bekas / mantan bapak atau bekas / mantan anak. Dengan demikian hubungan anak dengan kedua orang tuanya tetap hubungan yang semestinya dijalin sebagai hubungan anak dengan orangtua meskipun sebagai orang dewasa yang perannya menjadi orangtua dan semestinya memberikan pengasuhan bagi anak mereka memutuskan untuk berpisah atau bercerai. Dengan demikian dapat memisahkan secara jelas dan objectif persoalan pasangan sebagai orang dewasa yang memutuskan untuk bercerai dengan berupaya anak tidak menjadi obyek / komoditi pemuasan keinginan masing-masing pihak.

Boleh dikatakan yang paling merasakan akibat dari satu perceraian adalah anak. Tak satupun anak yang menginginkan ke dua orangtuanya bercerai. Namun demikian bila pilihan itu terjadi pada pasangan yang sudah mempunyai anak dan memutuskan untuk berpisah atau bercerai maka anak harus menjadi pertimbangan utama untuk meminimalkan dampak negative akibat dari perceraian tersebut.

Perlu diingat dan menjadi catatan bahwa hal-hal yang terjadi pada anak ketika ke dua orangtuanya merencanakan perceraian dan bercerai ( terlepas dari persoalan bahwa perceraian menjadi pilihan terakhir dilakukan. Misalnya kasus kekerasan yang tidak lagi dapat diatasi) anak akan mempunyai perasaan seperti :

  • merasa bersalah. Jangan-jangan anak (aku) yang menyebabkan perceraian orangtuaku terjadi.
  • Ada juga perasaan malu terutama terhadap orang lain terutama dengan teman sebaya
  • Perasaan tidak aman karena kehilangan salah satu orangtuanya karena bercerai.

Apalagi ditambah dengan perebutan antara ayah dan ibunya sendiri terhadap dirinya yang bahkan tidak jarang terjadi dengan upaya penculikan.

Definisi anak dalam hal ini mengacu pada Konvensi Hak anak sebagaimana juga yang termuat di dalam UU No. 23 tahun 2002 adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun. Status anak dalam hubungan relasi dengan orangtua tidak menyangkut usia tentunya .

Sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak anak dengan Kep.Pres No. 36 tahun 1990 maka secara yuridis dan politis kita terikat dengan seluruh ketentuan yang ada di dalam konvensi tersebut. Sebagai komitmen Negara, Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah disahkan.

Dapat kita lihat 4 (empat) Prinsip Umum Konvensi Hak anak yang menjadi Azas dan Tujuan dari Undang – Undang Perlindungan Anak yang terdapat dalam Bab II, Pasal dua yaitu :

  • Non diskriminatif

Dalam konteks ini tidak ada sikap pembedaan antara anak laki-laki maupun perempuan, sempurna atau cacat atau pembedaan-pembedaan lainnya.

  • Kepentingan yang terbaik bagi anak

Apapun niatan melakukan sesuatu tindakan maka segala sesuatunya harus kepentingan terbaik bagi anak. Menterjemahkan kepentingan terbaik bagi anak bila tidak hati-hati akan tergelincir untuk meluluskan segala permintaan anak dengan pemikiran agar anak senang atau bahagia.

  • Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

Memperhatikan kebutuhan selain fisik (perolehan gizi yang baik), lingkungan internal maupun eksternal yang baik serta perkembangan anak baik menyangkut fisik maupun mentalnya.

  • Penghargaan terhadap pendapat anak

Anak harus diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Orangtua harus dapat menterjemahkan pendapat anak sesuai dengan usianya.

Yang dapat kita lihat dalam realitas bahwa ke empat Prinsip tersebut lebih banyak terabaikan. Hal tersebut terjadi karena tidak mengerti dan tidak tahu akan ke empat prinsip umum diatas secara formal atau sudah menjadi kebiasaan yang menjadi sentral / pusat pertimbangan adalah pada diri masing-masing pasangan. Dapat kita simak antara lain hal-hal di bawah ini :

  • Masing-masing mencoba menunjukkan bahwa ibu/ bapak lah yang terbaik
  • Memberikan informasi tentang keburukan / kekurangan pasangannya masing-masing agar si anak mempunyai keberpihakan kepada masing-masing pihak
  • Berlomba memberikan kasih sayang dengan tujuan menjatuhkan pasangannya
  • Segala upaya dilakukan agar anak dapat lebih mencintai yang satu daripada yang lain.

Seringkali membuat anak berada di persimpangan jalan dan bingung. Buat si anak ke duanya adalah orangtuanya yang ingin mencintainya sebagai anak dengan sepenuh hati. Hal ini jangan di ukur dari nilai material semata karena kasih sayang dan pengertian sesuatu yang tidak dapat diukur dengan nilai materi.

- Harus menghilangkan motivasi apapun terkecuali kepentingan terbaik bagi anak

- Membangun trust / rasa percaya pada bekas masing-masing pasangan. Yang sering terjadi ketakutan pada masing-masing pihak tidak menepati kesepakatan yang sudah dibuat

- Tidak menghormati keputusan pengadilan. Biasanya akan berusaha naik banding bagaimana agar anak berada di pihaknya

- Anak dijadikan obyek untuk kepuasan perasaan masing-masing dengan mengabaikan perasaan anak

- Tidak berusaha membuat segalanya fleksibel demi kepentingan terbaik bagi anak

- Bila terjadi ketidak sesuaian bagi berada di satu pihak / salah satu orangtuanya, bagaimana menyelesaikan hal tersebut dengan duduk bersama sehingga anak tidak mengembangkan kreativitas membuat peluang-peluang yang juga manipulatif.

Sulit sungguh untuk melakukannya, tetapi niatan yang tulus dari masing-masing pihak untuk kepentingan terbaik bagi anak agar menjamin tumbuh kembang anak dan memberikan kesempatan bagi anak untuk memberikan pendapat atau opininya dibutuhkan latihan dengan penuh kejujuran bagi diri masing-masing sebagai pihak orangtua yang tidak lagi tinggal bersama baik pada masa pra maupun pasca perceraian sehingga dapat tercapai kebaikan yang optimal dalam upaya meminimalkan dampak dari situasi tersebut bagi diri si anak.

Pada saatnya anak akan memberikan penilaian secara obyektif kepada ke dua orangtuanya yang bercerai tanpa menyalahkan ke dua orangtuanya mengapa hal itu harus terjadi. Karena pada waktunya dimana anak sudah mencapai kematangan fisik maupun mentalnya dapat memberikan penilaian yang jujur tanpa intervensi pihak manapun.

Orang dewasa yang mengemban peran menjadi orangtua seringkali tidak sabar dengan waktu yang berjalan secara alamiah karena kerapkali kita ingin memaksakan kematangan anak sesuai dengan keinginan kita.

Agustus 2007

Magdalena sitorus

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Ketua Rekan Anak dan Perempuan.

ANAK DALAM SITUASI KONFLIK BERSENJATA

Anak adalah merupakan kelompok rentan untuk dapat mengalami tindakan diskriminasi dan kekerasan baik dalam situasi damai maupun situasi konflik karena berbagai alasan antara lain :

  • ketergantungan dalam berbagai hal semisal fisik, psikis, ekonomi yang diakibatkan karena belum matangnya mereka secara fisik maupun mental.
  • Anak kerapkali dilihat tidak sebagai subyek tetapi sebaliknya yaitu sebagai objek dengan standard pemikiran orang dewasa apapun peran mereka dalam masyarakat
  • Anak tidak dilihat sebagai pusat pertimbangan dalam melaksanakan sesuatu hal baik dalam skala kecil maupun luas.

Untuk itu di manapun anak berada karena beberapa alasan di atas pada dasarnya membutuhkan Perlindungan dalam artian semua tindakan maupun kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh ,berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dengan di ratifikasinya Konvensi Hak Anak melalui KepPres pada tahun 1990 maka Indonesia terikat secara yuridis dan politis terhadap seluruh ketentuan yang ada di dalam Konvensi Hak Anak tersebut.

Semua anak tanpa diskriminasi dalam artian tidak melihat latar belakang status sosial, etnis, suku, agama mempunyai hak untuk dilindungi yang dapat dikatakan bahwa anak harus memperoleh hak nya untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan lainnya atau bila kita melihat KHA adalah seluruh muatan yang ada di dalamnya.

Dalam situasi amanpun anak membutuhkan perlindungan dalam artian yang luas demikian juga halnya atau dapat dikatakan terlebih anak yang berada dalam situasi konflik apalagi bila dihubungkan dengan situasi konflik bersenjata dimana dalam hal ini mereka masuk dalam katagori anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus. Dikatakan perlindungan Khusus karena situasi konflik bersenjata mengakibatkan Anak dalam posisi yang sangat rentan untuk mengalami tindak kekerasan phisik yang dapat mengakibatkan luka, cidera, cacat bahkan kematian. Selain itu juga anak dapat mengalami kekerasan psikis dalam bentuk trauma baik dalam masa konflik maupun masa pasca, stigma dari keluarga dan masyarakat. Kerap kali juga untuk mengatasi hal tersebut anak terlibat mengkonsumsi obat-obat terlarang dan juga minuman keras.

Dalam masa pasca konflik di Indonesia seperti Aceh, Maluku, Ternate, Poso juga mengalami hal yang sama. Bahkan pernah dalam satu workshop yang diselenggarakan olehKomisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) yang menghadirkan anak yang terlibat dalam wilayah konflik horizontal di Ambon dan Ternate dimana anak juga diajarkan bagaimana merakit bom, mempergunakan senjata dengan ringannya bercerita pengalamannya pernah meminum darah dari pihak lawannya. Dapatkah kita bayangkan anak yang masih punya masa depan yang panjang ke depan masih membekas dengan pengalaman-pengalaman masa lalunya yang dapat berakibat bahwa kekerasan adalah solusi satu-satunya untuk mengatasi kesulitan dalam hidup. Dari para pendamping juga diperoleh keterangan bahwa banyak mereka yang dahulu masih dalam usia katagori anak ketika terlibat dalam masa konflik dan saat ini sudah tidak masuk dalam katagori tersebut digunakan sebagai “debt collector” di kota-kota besar baik di dalam maupun di luar wilayahnya yang tidak enggan untuk melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan pekerjaannya. Banyak anak juga sudah memperoleh dampingan dari kelompok-kelompok masyarakat terutama untuk melepaskan diri dari trauma tetapi penanganan yang terbatas tentunya tidak akan memperoleh hasil yang optimal. Dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak yang ada dalam masyarakat mulai dari elemen yang paling kecil bahkan sampai Negara yang punya tanggung jawab yang paling besar untuk melakukan perlindungan bagi seluruh warganya dan dalam hal ini terutama anak. Anak terlibat dalam situasi konflik bersenjata kehilangan hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, pengasuhan yang baik, lingkungan yang mendukung tumbuh kembang si anak

Pada masa konflik maupun Pasca Konflik anak membutuhkan masa pemulihan terlebih secara psikologis, reintegrasi.

Perlu juga menjadi catatan bahwa anak perempuan yang terlibat dalam situasi konflik bersenjata sangat rentan untuk kekerasan seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki dan permasalahan kesehatan reproduksi dan penyakit-penyakit menular lainnya.

Menurut catatan lebih dari 25 negara di seluruh dunia terdapat ribuan anak terlibat dalam konflik bersenjata baik dalam angkatan bersenjata pemerintah maupun kelompok oposisi bersenjata. Seringkali terjadi karena anak tidak mempunyai pilihan menjadi terlibat di wilayah konflik bersenjata karena semata-mata untuk mempertahankan hidup. Baik anak laki-laki maupun perempuan menjadi terlibat karena adanya unsur pemaksaan baik dalam bentuk penculikan maupun bentuk-bentuk lain yang tidak manusiawi termasuk bujuk rayu yang manipulatif.

Menurut Cape Town Principle tahun 1999 Tentara anak adalah siapa saja yang berusia dibawah delapan belas tahun (18) yang tidak hanya terbatas menjadi bagian dari angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata regular maupun non-regular dalam berbagai kapasitas seperti tukang masak, pembawa barang, pengantar pesan dan siapa saja yang membantu kelompok-kelompok tersebut termasuk anak perempuan yang direkrut untuk keperluan seksual dan kawin paksa.

Cape Town Principle sejalan dengan realitas yang ada dimana Anak yang terlibat atau dilibatkan dalam konflik bersenjata digunakan sebagai mata-mata, pembawa pesan, pengawal, pembawa barang, pembantu dan bahkan sebagai budak seks. Anak-anak seringkali diperintahkan untuk meletakkan atau membersihkan jalan dari ranjau darat. Anak-anak yang lebih muda usianya di beberapa angkatan bersenjata diperlakukan sebagai siswa dan seringkali disekap dalam kamp pelatihan atau markas. Terlepas dari partisipasi mereka dalam latihan militer, mereka juga disuruh untuk membersihkan kamp, menjadi pesuruh dan memasak.

Anak-anak yang rentan menjadi tentara anak biasanya adalah mereka yang tinggal di daerah konflik dan berasal dari komunitas desa atau kota yang terpinggirkan dan keluarga miskin. Seperti halnya anak-anak yang sedang kehilangan pegangan dan tidak memperoleh perlindungan dari keluarga seperti anak yang terpisah dari keluarganya atau keluarga yang berantakan sangat ber-resiko untuk memperoleh penawaran-penawaran dari pihak lain demikian juga halnya bagi anak-anak di wilayah konflik mereka mudah untuk di rekrut. Jumlah terbesar dari tentara anak adalah anak laki-laki yang berusia masih remaja dan ada kecenderungan jumlah peekrutan anak perempuan meningkat di tahun-tahun belakangan ini. Selain di rekrut menjadi prajurit, anak perempuan juga mengalami pelecehan secara seksual dan dipaksa untuk menikah.

Beberapa alasan anak menjadi tentara secara sukarela :

  • Kelompok bersenjata tidak banyak menemukan kesulitan untuk merekrut anak-anak karena usia yang belum mencapai kematangan sehingga dengan mudah dapat dipegaruhi dan dimanipulasi. Anak-anak dapat dengan mudah untuk di-cuci-otak sehingga mempunyai keberanian yang melampaui batas dan dibentuk kepatuhannya.
  • Adanya keinginan untuk balas dendam dikarenakan mereka mengalami kehilangan keluarga. Selain itu tidak mempunyai tempat perlindungan dan memperoleh hal tersebut dan juga makanan dari kelompok bersenjata.
  • Hilangnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dalam situasi yang sangat miskin, sekolah-sekolah telah dihancurkan, dan terbatasnya jumlah guru-guru, anak-anak akan mencari alternative kehidupan yang lebih baik.
  • Anak-anak mempunyai pandangan bahwa menjadi tentara adalah sesuatu yang membanggakan. Ditambah lagi propaganda politik dfimana memunculkan kebenaran-kebenaran sepihak dimana pembelaan untuk hal tersebut adalah sesuatu yang heroic..
  • Tekanan dari teman sebaya dan keluarga yang menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap kelompoknya sehingga tanpa sadar masuk menjadi tentara anak dengan sukarela .

Masalah anak yang terlibat dalam konflik bersenjata penting untuk menjadi perhatian karena mereka beresiko menderita luka-luka secara fisik, trauma psikologis dan bahkan mengakibatkan kematian selama pelatihan yang keras dalam pertempuran. Mereka kerap diperlakukan secara brutal dan menerima hukuman yang berat untuk kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat dari ketidak patuhan. Di beberapa negara bahkan tentara-tentara anak yang tertangkap melarikan atau menyerahkan diri untuk menghadapi perlakuan yang buruk, penyiksaan dan bahkan meninggal.

Anak-anak ini juga hilang kesempatan dalam memperoleh pendidikan dan tumbuh kembang social yang normal. Banyak tentara anak mengalami mimpi buruk bahkan kendati mereka sudah meninggalkan kelompok besenjata tersebut. Mimpi –mimpi yang merupakan trauma yang mereka hadapi sebagai saksi atau korband ari kekerasan , ketakutan, stigma dari keluarga dan lingkungan. Seringkali obat-obat terlarang dan alcohol digunakan untuk menghilangkan sensitifitas anak terhadap kekerasan yang seringkali mengarahkan mereka ke persoalan yang berhubungan dengan penyiksaan.

Harus menjadi catatan bahwa Perekrutan anak-anak secara paksa maupun sukarela ke dalam angkatan bersenjata melanggar hak-hak fundamental anak yang dinyatakan dalam Konvensi Persatuan Bangsa-bangsa mengenai Hak-Hak Anak (KHA) dan Aturan Tambahannya (Optional Protocol) tentang pelibatan anak-anak dalam konflik bersenjata dan instrument-instrument standard internasional lainnya.

Hak-Hak Anak yang terlibat dalam konflik bersenjata untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk perlakuan keji, kekerasan atau pengabaian ketika mereka menghadapi ancaman dibunuh, ditangkap, disiksa atau diperkosa setiap hari telah dilanggar. Begitu juga dengan hak-hak mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan dan perawatan medis dan standard hidup yang memadai.

Hal yang perlu diingat juga bagi mereka yang mengalami atau terlibat dalam konflik bersenjata dimana pada saat itu mereka masih dalam usia anak tetapi dalam masa pasca konflik mereka tidak lagi dalam usia anak sedangkan peristiwa tersebut masih sangat berbekas dan berdampak dalam menjalankan kehidupan mereka.

Negara diharapkan meningkatkan perhatian bagi anak yang terlibat dalam konflik bersenjata baik ketika mereka masih dalam katagori usia anak (dibawah 18 tahun) maupun yang mempunyai pengalaman masa lalu dan saat ini tidak lagi masuk dalam usia anak.

Tentara anak merupakan isu utama dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (Optional Protocol to the Convention on the Right of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflicts-OPAC) yang diharapkan dapat di ratifikasi oleh Pemerintah sehingga perlindungan bagi anak yang terlibat dalam konflik bersenjata dapat memperoleh hak-haknya sebagaimana anak-anak yang lain. Semoga

Magdalena Sitorus

Komisioner

Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Ketua Rekan Anak dan Perempuan.