Minggu, 07 September 2008

UPAYA SALING MENGHARGAI DAN SALING MENGHORMATI.

Suatu kali terjadi pernikahan antara dua suku yaitu mempelai perempuan berasal dari suku Batak sementara mempelai laki-laki berasal dari suku Jawa yang kedua-duanya beragama Kristen Protestan.
Meskipun Pemberkatan nikah dilaksanakan di Gereja Batak tetapi gereja sudah mempunyai toleransi dimana seluruh acara kebaktian menggunakan bahasa Indonesia agar dapat dimengerti oleh ke dua mempelai dan seluruh jemaat yang hadir. Hal-hal yang berkaitan dengan upaya saling menghargai dan saling menghormati sudah dibicarakan sejak awal yaitu salah satunya penggunaan bahasa Indonesia kendati sedikit-sedikit keluar juga pepatah-pepatah Batak yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia..
Pada saat acara pemberkatan usai maka masing-masing dari pihak keluarga mengucapkan satu dua patah kata di depan podium yang biasanya pengucapan terima kasih bagi semua yang sudah terlibat atau yang hadir dan mengundang jemaat untuk juga hadir di acara adat yang akan dilakukan di gedung pertemuan.
Seorang Bapak maju ke depan mewakili keluarga mempelai perempuan yang dari awal sampai akhir sambutannya menggunakan bahasa Batak demikian juga halnya yang mewakili mempelai laki-laki (karena sudah diberi marga) melakukan hal yang sama. Ketika salah satu anggota keluarga yang lain mengingatkan kesepakatan untuk menggunakan bahasa Indonesia , ke dua bapak tersebut mempunyai respons yang kurang lebih sama yaitu ‘ biarlah mereka juga belajar bahasa kita, kan ini gereja Batak”

Seperti biasa sesudah acara pemberkatan gereja adalah acara Adat yang dilakukan di salah satu gedung pertemuan di Jakarta.
Dengan demikian acara adat dihadiri oleh ke dua pihak keluarga besar yang berasal dari ke dua suku tersebut yaitu suku Jawa dan suku Batak. Pesta adat yang dilaksanakan secara adat Batak di mulai. Mulai dari pembawa acara dan ketika acara adat berlangsung semua entah sadar atau tidak sadar menggunakan bahasa Batak. Keluarga dari suku Jawa yang mendampingi mempelai laki-laki hanya mengikuti instruksi dari anggota keluarga mempelai perempuan untuk hal-hal apa yang harus dilakukan. Demikian berlangsung dari awal, pertengahan hingga akhir acara. Anggota keluarga yang memberikan masukan pada saat di gereja sekali lagi mencoba memberikan saran dan mengingatkan kesepakatan awal kepada pembawa acara dan yang berwenang dalam acara adat tersebut tetapi lagi-lagi jawaban yang diperoleh kurang lebih sama seperti yang terjadi di gereja. Layaknya mereka yang datang dari suku yang lain seperti kelompok pelengkap saja dan upaya menempatkan kedudukan yang sama menjadi sumir.

Betapa sering kita tidak menyadari bahwa ada orang lain bersama kita dan bagaimana kita lupa untuk menghormati dan menghargai orang lain yang ada di sekitar kita untuk menciptakan saling pengertian satu sama lain. Tanpa sadar seolah-olah dunia ini milik kita sendiri dan yang lain kita anggap menumpang dan kita mempunyai hak otoritas penuh menentukan segalanya menurut ukuran kita sendiri.

Kejadian diatas tentunya bukan terjadi disetiap pesta Batak dimana kedua mempelai berasal dari dua suku yang berbeda tetapi toh pernah terjadi ditengah-tengah kita.

Maret, 2007
Magdalena Sitorus

Tidak ada komentar: