Minggu, 07 September 2008

Catatan Natal Seorang Anak

Dua bulan menjelang hari Natal Ayah dan Ibuku sudah disibukkan untuk mempersiapkan acara-acara Natal baik untuk dikantornya maupun untuk digereja dan juga persiapan untuk di rumah sendiri. Seperti halnya pada tahun-tahun sebelumnya hal ini menjadi rutinitas bagiku yang saat ini sebagai anak belasan tahun yang sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikan di SMA sudah dilibatkan untuk hal tersebut mulai membuat daftar kebutuhan untuk di rumah sampai halnya untuk kebutuhanku sendiri. Tahun Baru yang tidak terlalu berjauhan jumlah harinya juga masuk dalam kesibukan tersebut. Tentunya hal ini berhubungan dengan aktivitas berbelanja dan membuat harus masuk keluar toko dari satu tempat ke tempat yang lain.
Untuk mewujudkan persiapan tersebut menjadi kenyataan tentunya mempunyai konsekuensi pengeluaran biaya yang tidak kecil meskipun aku tahu hal itu tidak menjadi masalah bagi kedua orangtuaku karena secara ekonomi mereka cukup mapan.

Ada pertanyaan yang mulai muncul dalam benakku tahun-tahun belakangan ini. Sejak aku mengenal Sekolah Minggu aku sudah diperkenalkan siapa Yesus yang menjadi tokoh sentral dalam perayaan Natal. Ia adalah penebus dosa manusia, Raja segala Raja tetapi justru lahir di kandang domba. Ia representasi dari kemiskinan, masyarakat kebanyakan yang termarjinalisasi. Orang Majus datang dari jauh untuk mempersembahkan mas dan mur dan lain-lainnya yang tidak ternilai harganya.
Aku membayangkan Yesus yang berkuasa itu tidak lahir dalam kemewahan.tetapi justru sebaliknya. Barangkali supaya Ia mudah di akses oleh orang banyak tanpa memandang status ekonomi dan sosialnya ya ? begitulah kata hatiku bertanya-tanya. Kalau dia Yang Maha Kuasa dan Penyelamat Dunia itu lahir tempat yang mewah, orang kebanyakan termasuk yang miskin dan papa barangkali enggan untuk menjenguk dan menyapanya karena ada tembok pemisah.yang tebal dan sulit untuk ditembus.

Aku amati dari tahun ke tahun hal-hal yang aku peroleh di Sekolah Minggu ku sangat bertolak belakang dengan apa yang aku lihat di sekelilingku atau paling tidak di keluargaku. Natal identik dengan konsumerisme yang diwujudkan dalam bentuk shopping apalagi saat ini begitu banyak penawaran-penawaran bernuansa Natal yang direkatkan dengan Tahun Baru. Ditambah lagi banyak Mall-Mall yang menjadi sarana kemewahan. Selain itu tawaran Hotel-hotel mewah untuk menikmati liburan Natal dan Tahun Baru..

Kendati aku terbiasa dengan rutinitas Natal di Rumah yang mulai dari membeli pohon Natal yang cukup mahal beserta dengan hiasannya, mempersiapkan sepatu dan baju baruku dan juga anggota keluargaku tetapi cerita di sekolah Minggu masih terus menggelitik dan membekas dalam hatiku. Pengalamanku datang ke Rumah salah satu guru sekolah mingguku yang sangat sederhana sangat berkesan. Salah satunya adalah pohon Natalnya bukan pohon cemara tetapi dari pohon yang diperoleh dari sekeliling rumahnya dan di hias dengan penuh kreativitas.

Untuk menunjukkan keberpihakkan kepada kaum miskin dan papa, kedua orangtuaku meminta bantuanku untuk membuat daftar tempat-tempat yang akan dikunjungi untuk diberikan hadiah yaitu seperti panti asuhan, panti jompo dan panti lainnya. Dalam hatiku sih bertanya tanya juga….banyak juga kan mereka yang membutuhkan tapi tidak terdaftar di salah satu Panti. Kemudian apakah yang diberikan sesuai dengan kebutuhan mereka? Aku pernah dengar dari pembantuku yang kebetulan salah satu anaknya tinggal di Panti bercerita bahwa karena banyaknya barang-barang yang disumbangkan sampai-sampai dibuat bazaar untuk menjual mulai dari bahan makanan yang sudah hampir kadaluarsa sampai benda-benda ataupun baju-baju yang berkelebihan. Barangkali sih dapat dicari yang jauh lebih bermanfaat dan berkesinambungan untuk membantu kaum miskin dan papa sehingga mereka menjadi berdaya dan tidak menjadi masalah sosial bagi masyarakat nantinya.

Kadangkala aku lontarkan juga pemikiranku pada kedua orangtuaku tetapi sering mereka melihat aku adalah manusia kecil yang belum banyak makan asam garam dan tidak punya hak untuk berpartisipasi untuk menyampaikan aspirasiku.

Aku sih berharap Natal tidak digiring kearah kemewahan tetapi lebih mewujudkan keberpihakan kepada kaum miskin dan papa yang diwujudkan dalam bentuk kesederhanaan. Selain itu aku juga berharap mudah-mudahan aku tidak terseret pada kemewahan dan bentuk Natal yang aku kritisi sendiri. Semoga.


Desember 2006

Magdalena Sitorus

Tidak ada komentar: