Minggu, 07 September 2008

Perebutan Anak

Pendahuluan


Satu hari seorang ayah yang sudah dua tahun bercerai dengan istrinya mengeluh soal anaknya Reza (bukan nama sebenarnya) yang tidak mau kembali ke Rumah ibunya. Saat itu adalah hari Sabtu (Sabtu dan Minggu di Rumah ayah, hari sekolah Senin s.d Jum’at bersama ibunya) yang menjadi giliran anak tinggal bersama ayahnya. Reza mengeluhkan : “mamaku tidak mau mendengarkan aku. Semua pendapatku tidak ada yang diterima. Aku ini kan asma, tapi mama tidak mengerti perasaanku. Lagipula aku terlalu jauh berangkat sekolah dari tempat mama. Aku kecapekan” . Hasil keputusan pengadilan menetapkan pengasuhan ada di tangan ibu (usia anak belum lima tahun ketika perceraian terjadi).

Ada lagi kasus pasangan yang bercerai sesudah ada keputusan di pengadilan dimana diputuskan hak asuh pada ibu tetapi bapa mengajukan naik banding ke MA. Sambil menunggu keputusan MA anak ( Dodi – bukan nama sebenarnya) tinggal bersama ibunya dengan kesepakatan terdapat pembagian hari Dodi pada akhir pekan dapat tinggal bersama ayahnya. Awalnya sesuatu dapat berjalan dengan baik. Kemudian terjadi perkembangan masing-masing tidak menepati janjinya dengan alas an anak yang tidak berkenan untuk ke tempat masing-masing orangtuanya. “Aku lebih senang sama Mama, aku tidak suka sama Papa. Papa selalu memaksakan keinginannya pada Dodi. Dalam perkembangannya kemudian situasi berubah karena anak di tahan oleh ayahnya. Mulai lah kancah perjuangan tarik menarik. Ketika Dodi ditanya jawaban sudah berubah yaitu “Aku tidak mau lagi ke tempat mama, aku lebih senang tinggal bersama Papa”.

Satu contoh kasus lainnya dari pasangan yang sudah bercerai yang menurut keputusan pengadilan anak di bawah pengasuhan ibu. Menurut si bapak, anaknya (Murni – bukan nama sebenarnya), anak yang ceria, sayang dan dekat dengan ayahnya. Pada awalnya tidak ada kesulitan untuk dapat bertemu dengan Murni tetapi pada perkembangannya, jangankan untuk bertemu, berbicara lewat teleponpun tidak lagi dapat dilakukan. Menurut si bapa pada saat bisa bertemu, Murni bukan lagi yang ia kenal seperti sebelumnya. Murni ia lihat menjadi anak yang pemurung, tidak banyak bicara dan sulit untuk berkomunikasi.

Contoh tiga kasus diatas berkembang menjadi upaya perebutan anak dari masing-masing bekas pasangan yang merasa anak jauh lebih baik berada di pihaknya.

Banyak lagi yang terjadi dimana perceraian berkembang menjadi kasus-kasus perebutan anak

Seperti akhir-akhir ini banyak sekali berita baik di media cetak maupun elektronik tentang perebutan anak apakah itu dalam masa pra perceraian maupun pasca perceraian. Meskipun di media elektronik yang terangkat banyak pada keluarga selebritis meskipun hal yang serupa banyak juga terjadi pada keluarga-keluarga biasa yang ada di dalam masyarakat.

Seringkali masing-masing pasangan melihat dirinya adalah yang paling pantas untuk melakukan pengasuhan bagi anak yang diperebutkan. Sering orang mengatakan bahwa tidak ada bekas / mantan ibu, bekas / mantan bapak atau bekas / mantan anak. Dengan demikian hubungan anak dengan kedua orang tuanya tetap hubungan yang semestinya dijalin sebagai hubungan anak dengan orangtua meskipun sebagai orang dewasa yang perannya menjadi orangtua dan semestinya memberikan pengasuhan bagi anak mereka memutuskan untuk berpisah atau bercerai. Dengan demikian dapat memisahkan secara jelas dan objectif persoalan pasangan sebagai orang dewasa yang memutuskan untuk bercerai dengan berupaya anak tidak menjadi obyek / komoditi pemuasan keinginan masing-masing pihak.

Boleh dikatakan yang paling merasakan akibat dari satu perceraian adalah anak. Tak satupun anak yang menginginkan ke dua orangtuanya bercerai. Namun demikian bila pilihan itu terjadi pada pasangan yang sudah mempunyai anak dan memutuskan untuk berpisah atau bercerai maka anak harus menjadi pertimbangan utama untuk meminimalkan dampak negative akibat dari perceraian tersebut.

Perlu diingat dan menjadi catatan bahwa hal-hal yang terjadi pada anak ketika ke dua orangtuanya merencanakan perceraian dan bercerai ( terlepas dari persoalan bahwa perceraian menjadi pilihan terakhir dilakukan. Misalnya kasus kekerasan yang tidak lagi dapat diatasi) anak akan mempunyai perasaan seperti :

  • merasa bersalah. Jangan-jangan anak (aku) yang menyebabkan perceraian orangtuaku terjadi.
  • Ada juga perasaan malu terutama terhadap orang lain terutama dengan teman sebaya
  • Perasaan tidak aman karena kehilangan salah satu orangtuanya karena bercerai.

Apalagi ditambah dengan perebutan antara ayah dan ibunya sendiri terhadap dirinya yang bahkan tidak jarang terjadi dengan upaya penculikan.

Definisi anak dalam hal ini mengacu pada Konvensi Hak anak sebagaimana juga yang termuat di dalam UU No. 23 tahun 2002 adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun. Status anak dalam hubungan relasi dengan orangtua tidak menyangkut usia tentunya .

Sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak anak dengan Kep.Pres No. 36 tahun 1990 maka secara yuridis dan politis kita terikat dengan seluruh ketentuan yang ada di dalam konvensi tersebut. Sebagai komitmen Negara, Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah disahkan.

Dapat kita lihat 4 (empat) Prinsip Umum Konvensi Hak anak yang menjadi Azas dan Tujuan dari Undang – Undang Perlindungan Anak yang terdapat dalam Bab II, Pasal dua yaitu :

  • Non diskriminatif

Dalam konteks ini tidak ada sikap pembedaan antara anak laki-laki maupun perempuan, sempurna atau cacat atau pembedaan-pembedaan lainnya.

  • Kepentingan yang terbaik bagi anak

Apapun niatan melakukan sesuatu tindakan maka segala sesuatunya harus kepentingan terbaik bagi anak. Menterjemahkan kepentingan terbaik bagi anak bila tidak hati-hati akan tergelincir untuk meluluskan segala permintaan anak dengan pemikiran agar anak senang atau bahagia.

  • Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

Memperhatikan kebutuhan selain fisik (perolehan gizi yang baik), lingkungan internal maupun eksternal yang baik serta perkembangan anak baik menyangkut fisik maupun mentalnya.

  • Penghargaan terhadap pendapat anak

Anak harus diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Orangtua harus dapat menterjemahkan pendapat anak sesuai dengan usianya.

Yang dapat kita lihat dalam realitas bahwa ke empat Prinsip tersebut lebih banyak terabaikan. Hal tersebut terjadi karena tidak mengerti dan tidak tahu akan ke empat prinsip umum diatas secara formal atau sudah menjadi kebiasaan yang menjadi sentral / pusat pertimbangan adalah pada diri masing-masing pasangan. Dapat kita simak antara lain hal-hal di bawah ini :

  • Masing-masing mencoba menunjukkan bahwa ibu/ bapak lah yang terbaik
  • Memberikan informasi tentang keburukan / kekurangan pasangannya masing-masing agar si anak mempunyai keberpihakan kepada masing-masing pihak
  • Berlomba memberikan kasih sayang dengan tujuan menjatuhkan pasangannya
  • Segala upaya dilakukan agar anak dapat lebih mencintai yang satu daripada yang lain.

Seringkali membuat anak berada di persimpangan jalan dan bingung. Buat si anak ke duanya adalah orangtuanya yang ingin mencintainya sebagai anak dengan sepenuh hati. Hal ini jangan di ukur dari nilai material semata karena kasih sayang dan pengertian sesuatu yang tidak dapat diukur dengan nilai materi.

- Harus menghilangkan motivasi apapun terkecuali kepentingan terbaik bagi anak

- Membangun trust / rasa percaya pada bekas masing-masing pasangan. Yang sering terjadi ketakutan pada masing-masing pihak tidak menepati kesepakatan yang sudah dibuat

- Tidak menghormati keputusan pengadilan. Biasanya akan berusaha naik banding bagaimana agar anak berada di pihaknya

- Anak dijadikan obyek untuk kepuasan perasaan masing-masing dengan mengabaikan perasaan anak

- Tidak berusaha membuat segalanya fleksibel demi kepentingan terbaik bagi anak

- Bila terjadi ketidak sesuaian bagi berada di satu pihak / salah satu orangtuanya, bagaimana menyelesaikan hal tersebut dengan duduk bersama sehingga anak tidak mengembangkan kreativitas membuat peluang-peluang yang juga manipulatif.

Sulit sungguh untuk melakukannya, tetapi niatan yang tulus dari masing-masing pihak untuk kepentingan terbaik bagi anak agar menjamin tumbuh kembang anak dan memberikan kesempatan bagi anak untuk memberikan pendapat atau opininya dibutuhkan latihan dengan penuh kejujuran bagi diri masing-masing sebagai pihak orangtua yang tidak lagi tinggal bersama baik pada masa pra maupun pasca perceraian sehingga dapat tercapai kebaikan yang optimal dalam upaya meminimalkan dampak dari situasi tersebut bagi diri si anak.

Pada saatnya anak akan memberikan penilaian secara obyektif kepada ke dua orangtuanya yang bercerai tanpa menyalahkan ke dua orangtuanya mengapa hal itu harus terjadi. Karena pada waktunya dimana anak sudah mencapai kematangan fisik maupun mentalnya dapat memberikan penilaian yang jujur tanpa intervensi pihak manapun.

Orang dewasa yang mengemban peran menjadi orangtua seringkali tidak sabar dengan waktu yang berjalan secara alamiah karena kerapkali kita ingin memaksakan kematangan anak sesuai dengan keinginan kita.

Agustus 2007

Magdalena sitorus

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Ketua Rekan Anak dan Perempuan.

1 komentar:

Marvin Sitorus mengatakan...

Banyak yang ingin saya tanyakan tentang perebutan anak, bagai mana cara saya menghubungi kakak?
Ini email dan no telp saya.
marvinsitorus@gmail.com
081236788889
Terima kasih